Jumat, 11 Maret 2022

Sebuah Surat

 

Untuk siapapun.

 

Beberapa hal baru datang namun tampak tak asing, hampir sama, mungkin karena hanya bermaksud menggantikan hal-hal yang lalu yang telah usang, lalu menghilang dimakan usia. Tahun-tahun yang telah berlalu hanya mampu meninggalkan sisa kebahagiaan dan kesedihan yang dapat terasa apabila mengingatnya—seringkali tanpa sengaja. Tetapi tahun ini, tak ada apa pun yang sepertimu. Kau seakan lenyap begitu saja. Aku hampir melupakanmu karena kehidupan baruku, yang tentunya diriku tidak lagi mampu seperti tahun-tahun yang lalu. Aku tidak lagi mampu untuk sering tertawa karena hal yang menurut orang lain lucu, aku lebih sering menertawakan hidupku sendiri. Aku tidak lagi mampu menikmati perjalanan dengan teman yang diam-diam aku sedikit tidak suka padanya, aku lebih suka menghabiskan waktu senggangku dengan jalan-jalan sendirian.

Sekarang, aku tidak peduli lagi dengan sebagian hal yang tahun kemarin masih kupersoalkan. Aku tidak peduli lagi apabila harus terjadi hal yang memalukan padaku, aku tidak peduli lagi apabila terjebak dalam situasi yang tak nyaman, dan aku tidak peduli lagi apabila semua seolah tak mempedulikanku. Tapi, ada satu hal yang selalu kupedulikan, yaitu kebahagiaan untuk diriku sendiri. Bahagia dengan menjadi tidak peduli terhadap hal-hal yang tidak dapat diubah, bahagia melakukan segalanya hanya dengan diri sendiri, bahagia melakukan segala hal sesuai kemauan diri sendiri tanpa mengikuti kehendak orang lain.

Bagaimana denganmu? Kau masih baik-baik saja, kan? Bahkan, kuharap selalu dapat berbahagia versi dirimu sendiri. Seperti katamu, ‘hiduplah seperti kemauanmu.’. Bahkan, aku pun tahu bahwa akan ada banyak orang yang tidak setuju dengan kebahagiaan versiku, karena ada banyak cara untuk menciptakan kebahagiaan, dan orang lain belum tentu sepertiku. Aku yakin kau bisa selalu mengupayakan untuk membuat dirimu sendiri selalu merasa nyaman menjalani hari-hari, aku yakin sekarang kau sedang gembira karena segala sesuatu yang kau inginkan sejak lama berhasil kau dapatkan secara perlahan.

Tahun ini, akan berlalu seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi, bisakah tahun ini berjalan menyenangkan versi masing-masing orang? Sekali saja, semua orang dapat mencicipi kebahagiaan secara bersamaan. Haha, mustahil ya. Tapi, aku bahkan tetap berharap…

Senin, 21 Juni 2021

Gulita

Tahukah apa yang sedang dirasakan seorang gadis kecil berusia sembilan belas tahun yang sedang duduk bersama kucingnya itu? Ia merasakan kecemasan yang semakin hari membunuh keberanian. Wajah cerianya memang sudah surut sejak lama, meskipun begitu, kemarin ia masih berusaha menunjukkan keramahan pada setiap yang ditemuinya. Tetapi kini, baginya basa-basi dan senyum hangat yang palsu hanya membuat geli dan ingin memaki diri sendiri.

Cemas dan sepi, tak ada selain mereka yang mau menemani gadis itu sepanjang waktu. Cemas dan sepi selalu ada untuknya, bahkan seekor kucing abu-abu yang telah lama menjadi sahabatnya seringkali merasa cemburu dengan mereka. Mereka yang selalu membangunkan gadis itu di tengah malam untuk berpikir perihal kehilangan. Mereka yang  membuat gadis itu sedih dan takut secara bersamaan.

Ia sering kehilangan, baginya bukan masalah besar karena waktu selalu menghapus kesedihan dengan sempurna. Tapi kali ini, ia bukan hanya akan merasakan kehilangan, melainkan kematian. Tidak ada jiwa yang bisa hidup tanpa semangat, maka ia akan mati. Ia akan mati karena kehilangan.

Bukan kehilangan harta, kekasih, ataupun kucing. Ia sedang mencemaskan tentang kehilangan sosok yang berperan sangat besar dalam hidupnya. Sosok yang selalu mengajarkan ia segala hal baik yang tidak diajarkan di sekolah. Pun, sosok yang sering menjadi teman curhat sekaligus musuh berdebat baginya.

Mama. Mamanya telah lama sakit. Setengah tahun yang lalu, divonis kanker. Dengan sisa air mata yang dipunyai oleh gadis itu, malam itu ia kembali menangis, tepat pada pukul sebelas malam. Matanya sulit terpejam meski sudah berulangkali ia usahakan. Bayang-bayang menyeramkan tentang mamanya selalu melintas di pikirannya terutama pada malam hari. Ia meneguk satu pil obat tidur dengan air putih, tiga bulan belakangan ini tidurnya bergantung dengan obat itu. Matanya sayu. Mamanya merupakan satu-satunya manusia yang bisa ia harapkan dalam hidupnya, tidak ada lagi yang bisa dipercaya selain mamanya. Mereka hanya hidup berdua sejak gadis itu berumur tiga tahun sampai saat ini, ayahnya merupakan seseorang yang tak memiliki tanggung jawab dan gadis itu sudah sejak lama tak mengakui bahwa ayahnya seorang manusia.

Hidup dengan seorang ibu saja memang berbeda ketika hidup dengan seorang ayah saja. Mamanya selalu berhati-hati dalam melakukan sesuatu untuk gadis itu, ibu paruh baya itu sebisa mungkin selalu bersikap lembut kepada anaknya, selagi anaknya juga bisa diberi tahu untuk melakukan hal-hal baik. Terkadang, beberapa kawan iri dengan perlakuan baik mamanya, tetapi dalam hidup ini orang lain memang selalu tampak lebih baik daripada kita, meskipun kenyataannya bisa jadi kita yang dipandang tampak lebih baik oleh mereka. Hidup ini hanya tentang iri dan dengki apabila tidak bisa bersyukur dengan benar.

Gadis itu tidak memiliki tempat untuk menampung cerita. Baginya, semua orang tidak bisa benar-benar dipercaya, semua orang memiliki kepentingannya masing-masing, mungkin benar bahwa manusia adalah makhluk yang sosial sekaligus egois. Kawan-kawannya telah lama meninggalkan ia, entahlah, rasanya semua orang setelah lulus SMA mulai memiliki kehidupannya sendiri-sendiri dan disibukkan oleh itu. Beberapa kawan ada yang sudah bekerja, beberapa lainnya sibuk berkuliah sepertinya. Percakapan sepele tidak mungkin lagi diciptakan oleh ia dan kawan-kawannya. Tidak ada lagi yang membahas omong kosong tidak penting tanpa tujuan yang jelas.

Ia meneguk satu pil lagi. Biasanya memang pil kedua baru bekerja pada dirinya. Diliriknya jam dinding, pukul dua belas malam. Sudah satu jam ia menangis, dan ia tak lagi menyiapkan tisu. Ia tak butuh lagi menyeka air matanya, ia akan membiarkan tidur dengan mata sembab hingga keesokan hari ia akan kesulitan membuka mata.

Hal pertama yang dilakukannya setelah bangun tidur ialah pergi ke kamar mamanya, mengecek mamanya sudah bangun atau belum. Apabila belum, ia akan memastikan mamanya masih bernafas atau tidak. Setakut itu ia dengan kehilangan. Sayangnya, kehilangan selalu menghantui ke manapun ia berjalan. Semoga suatu saat kehilangan tidak lagi menghantuinya karena mamanya benar-benar sembuh dari penyakit itu dan hidup panjang umur di dunia. Harapan masih ada. Semesta bekerja dengan rasa.


Jumat, 06 September 2019

Pulang

Sebagai anak-anak senja, burung-burung terbang dengan patuh meninggalkan pelataran gereja lalu hinggap di pohon belimbing tua. Senja nyaris memerah marah ketika masih melihat satu dua anak emprit berkeliaran saling berkejaran. Perintah senja adalah hal yang wajib dilaksanakan, setelah semua telah masuk ke dalam sangkar, senja akan menyuguhi teori-teori panjang yang akhirnya didiskusikan oleh para burung, angin, rumput yang belum terlelap, dan nyamuk-nyamuk yang ingin selalu ikut serta.

Semakin banyak senja berbicara, semakin meredup pesonanya. Gunung hanya bisa menjadi saksi matahari yang mulai tenggelam jauh tanpa mampu menahannya. Awan-awan tak bisa berteriak dan tak mampu mengejar. Semua pasrah dengan hilangnya mentari dan perginya senja. Diskusi sore ini dinyatakan selesai, mungkin besok masih dapat dilanjutkan ketika masih sama-sama diberi jatah waktu oleh Tuhan.

Malam datang dengan warna gelap yang cenderung dikaitkan dengan rasa pahit. Padahal, kita belum pernah mencicipi sepotong malam. Ia datang dengan dua saudara tirinya, angin dan dingin, kemudian disusul teman-temannya, bintang-bintang, dan kekasihnya, bulan. Sekilas malam memang mencekam, tapi bisa kau lihat bahwa ia sebenarnya bahagia dengan semua yang ada di sekitarnya.

Keriput kulit bulan tak mengurangi sedikit pun rasa cinta malam kepadanya. Dipandanginya raut bulan dengan seksama, malam semakin menggila jatuh cinta. Ketika alam semesta berusaha mengiming-imingiku cinta, aku semakin tak percaya bahwa sudah hampir tiga tahun ia pulang ke pangkuan Tuhan. Hampir tiga tahun pula aku berusaha hidup dalam penantian bodoh, berharap Tuhan mengembalikannya kepadaku walau mungkin hanya dalam mimpi tidurku.

Aku semakin merasa bodoh ketika kulihat diriku bukan siapa-siapa lagi di dunia ini. Hanya dua doa yang selalu kupanjatkan di dalam gereja setiap Minggu. "Tuan Semesta, kembalikan kekasihku." Dan, "Tuan Semesta, jemputlah aku sekarang."

Malam ini, aku kembali meminta, jemputlah aku Tuhan, aku ingin bertemu kekasih lamaku. Aku merindukannya. Aku merindukan senyum tulusnya, tawanya yang selalu mengundangku untuk ikut tertawa juga, dan tatapan mata miliknya yang tak pernah kutemukan lagi di mana-mana.

Aku akan pulang sendiri. Aku tak butuh dijemput. Pisau dapur sudah kugenggam sejak senja memilih pergi dan menitipkanku pada malam. Aku segera menggoreskannya pada leherku, cairan merah terasa mengalir deras membasahi nyaris seluruh tubuhku. Dengan sisa tenagaku, aku memotong leherku hingga kepalaku putus dan jatuh ke tanah, sementara tubuhku langsung ambruk.

Aku bisa melihat tubuhku yang berwarna merah karena darah terkulai di sana dengan tangan kananku yang masih menggenggam pisau. Sementara kepalaku agak jauh letaknya, dengan mata yang masih melotot dan bibir yang mengatup. Selamat tinggal ragaku yang baru saja kurusak sendiri. Setelah ini, aku akan pergi mencari kekasihku, harus kutemukan di mana pun bahkan ketika harus kucari di semak-semak rumput tinggi, atau di sela-sela bangunan tua yang menjulang sombong.

Rabu, 15 Agustus 2018

Ingatan

Perlahan tubuhku tenggelam dalam lautan ingatan, membuatku susah menghirup udara. Pelan-pelan aroma rindu menyeruak memenuhi ruang kecil di pernafasanku, sesuatu baru saja berhasil menarik bayang-bayang tawa mereka di hadapanku. Rupanya berasal dari karung besar yang sedang tenggelam bersamaku.

“Waktu tak merenggut kenangan, ia hanya menyembunyikan diam-diam.”

Dengan tertatih, aku menyeret sekarung kenangan itu dengan berenang. Ketika sampai di permukaan, karung itu kubuka, kulihat diriku yang sedang terbahak-bahak tanpa ingat luka membengkak terbang keluar dari karung itu. Kemudian, disusul wajah-wajah manusia yang selama hidupnya didedikasikan hanya untukku. Terbang, menjauh, lalu menghilang. Satu per satu kenangan melayang dari karung. Aku tersedu-sedu, kesekian kali.

Sabtu, 10 Desember 2016

Malam dan Pinggir Jalan

Langit hitam membentang memperkenalkan diri, namanya malam. Ia datang bersama kawan-kawannya, yaitu sepi yang seringkali memompa kecemasan, dan dingin yang tak akan berhenti menusuk kulit tipis.

Tak lama, ada yang datang lagi, dengan bangga berkata bahwa ia milik tuan malam, ia bulan purnama. Jangkrik tergesa-gesa menyambut dengan gemerisik suaranya, sementara kunang-kunang bersembunyi enggan menengok senyum angkuh rembulan.

Aku masih di sini, di pinggir jalan tua yang kerap disakiti roda-roda gila. Mataku sulit terpejam di atas bebatuan tak ramah. Tidak ada angin yang pandai merayu datang untuk membuatku terlelap.
Tidak ada.