Sebagai anak-anak senja, burung-burung terbang dengan patuh meninggalkan pelataran gereja lalu hinggap di pohon belimbing tua. Senja nyaris memerah marah ketika masih melihat satu dua anak emprit berkeliaran saling berkejaran. Perintah senja adalah hal yang wajib dilaksanakan, setelah semua telah masuk ke dalam sangkar, senja akan menyuguhi teori-teori panjang yang akhirnya didiskusikan oleh para burung, angin, rumput yang belum terlelap, dan nyamuk-nyamuk yang ingin selalu ikut serta.
Semakin banyak senja berbicara, semakin meredup pesonanya. Gunung hanya bisa menjadi saksi matahari yang mulai tenggelam jauh tanpa mampu menahannya. Awan-awan tak bisa berteriak dan tak mampu mengejar. Semua pasrah dengan hilangnya mentari dan perginya senja. Diskusi sore ini dinyatakan selesai, mungkin besok masih dapat dilanjutkan ketika masih sama-sama diberi jatah waktu oleh Tuhan.
Malam datang dengan warna gelap yang cenderung dikaitkan dengan rasa pahit. Padahal, kita belum pernah mencicipi sepotong malam. Ia datang dengan dua saudara tirinya, angin dan dingin, kemudian disusul teman-temannya, bintang-bintang, dan kekasihnya, bulan. Sekilas malam memang mencekam, tapi bisa kau lihat bahwa ia sebenarnya bahagia dengan semua yang ada di sekitarnya.
Keriput kulit bulan tak mengurangi sedikit pun rasa cinta malam kepadanya. Dipandanginya raut bulan dengan seksama, malam semakin menggila jatuh cinta. Ketika alam semesta berusaha mengiming-imingiku cinta, aku semakin tak percaya bahwa sudah hampir tiga tahun ia pulang ke pangkuan Tuhan. Hampir tiga tahun pula aku berusaha hidup dalam penantian bodoh, berharap Tuhan mengembalikannya kepadaku walau mungkin hanya dalam mimpi tidurku.
Aku semakin merasa bodoh ketika kulihat diriku bukan siapa-siapa lagi di dunia ini. Hanya dua doa yang selalu kupanjatkan di dalam gereja setiap Minggu. "Tuan Semesta, kembalikan kekasihku." Dan, "Tuan Semesta, jemputlah aku sekarang."
Malam ini, aku kembali meminta, jemputlah aku Tuhan, aku ingin bertemu kekasih lamaku. Aku merindukannya. Aku merindukan senyum tulusnya, tawanya yang selalu mengundangku untuk ikut tertawa juga, dan tatapan mata miliknya yang tak pernah kutemukan lagi di mana-mana.
Aku akan pulang sendiri. Aku tak butuh dijemput. Pisau dapur sudah kugenggam sejak senja memilih pergi dan menitipkanku pada malam. Aku segera menggoreskannya pada leherku, cairan merah terasa mengalir deras membasahi nyaris seluruh tubuhku. Dengan sisa tenagaku, aku memotong leherku hingga kepalaku putus dan jatuh ke tanah, sementara tubuhku langsung ambruk.
Aku bisa melihat tubuhku yang berwarna merah karena darah terkulai di sana dengan tangan kananku yang masih menggenggam pisau. Sementara kepalaku agak jauh letaknya, dengan mata yang masih melotot dan bibir yang mengatup. Selamat tinggal ragaku yang baru saja kurusak sendiri. Setelah ini, aku akan pergi mencari kekasihku, harus kutemukan di mana pun bahkan ketika harus kucari di semak-semak rumput tinggi, atau di sela-sela bangunan tua yang menjulang sombong.